Friday, August 05, 2011

I Left My Heart in Boston Part 11-end

Jakarta, lima bulan kemudian.

Almira baru keluar dari kampus bersama gerombolan teman-temannya. Jadwal kuliah semakin lama semakin menggila tapi ia bersyukur karena baru saja menyelesaikan Ujian Tengah Semester. Itu tandanya ia bisa berlibur seminggu dan bernapas lega. Rencananya Almi dan teman-temannya akan liburan di Pulau Seribu selama tiga hari dua malam.

Handphone Almi bergetar di saku celananya. Nomor yang tidak dikenalnya.

“Halo? Siapa ya?” Tanya Almi jutek.

“Kamu di mana Al? Keluar kampus dong. Aku ada di depan kampus kamu nih.” Jawab suara di seberang sana.

“Hah? Ini siapa sih? Jangan main-main deh.” Ucapnya tak kalah jutek dari yang pertama.

Buruan keluar kampus. Aku udah nungguin dari tadi nih. Cepet yah, argo taksinya mahal.” Pemilik suara itu malah menyuruhnya cepat-cepat ke luar kampus.

Karena kesal dan penasaran dengan telepon misterius barusan, Almi nekat keluar kampus menuju tempat parkir. Ia celingak-celinguk mencari seseorang yang menelponnya. Terlihat ada sebuah taksi yang parkir di pojokan. Cepat-cepat di hampirinya. Dan betapa kagetnya Almi bahwa Rilo yang berada di dalam taksi itu.

“Akhirnya kamu dateng jugaaaaaa~!!!” Almi tak dapat menyembunyikan kebahagiannya. Dipeluknya Rilo erat-erat. Sebodo amat deh sama orang-orang yang ngeliat.

Promise is a promise. Kamu libur seminggu kan?” Tanya Rilo sambil mengelus-elus mesra rambut Almi yang kini di potong sebahu. Almi mengangguk sambil gelendotan manja di lengan Rilo. Tatapan matanya membuat Almi tersihir. Tajam, namun meneduhkan.

“Sekarang gantian kamu yang tepatin janjinya ya sayang. Aku udah jauh-jauh dateng kesini, nggak afdhol kalo nggak nyobain diving di Bunaken.” Rilo menggoda Almi dengan kerlingan matanya.

“Yah, kalo kesana kejauhan. Ke Pulau Tidung aja yuk, Nggak kalah bagus loh!” Lagi-lagi Rilo mengelus rambut Almi seraya menjawil hidungnya. “Whenever, wherever, whatever. As long as I’m with you, Al.” Makin dipeluknya Rilo erat-erat.

Selama ini mereka berhubungan lewat e-mail dan video conference. Sesekali Rilo menelpon Almi untuk melepas kangen. Rilo nggak nembak Almi secara langsung seperti ‘Gue suka lo. Mau jadi cewek gue?’ Tidak. Rilo bukan tipe cowo seperti itu.

“Al, mulai sekarang kalo ditanya sama orang-orang, bilang aja lo udah punya pacar ya.” Ucapnya sewaktu mereka webcam-an.

“Hah? Siapa?” Dengan polosnya Almi bertanya.

“Gue.” Tukas Rilo penuh percaya diri. Sejak ditinggal Almi balik ke Jakarta, lama-lama rasa percaya dirinya mulai timbul, tentunya Dizar dengan setia membantunya.

Tidak ada kata ‘Iya’ atau ‘Mau’, hanya ‘Oh… Yaudah’ yang terlontar dari mulut Almi. Dan sejak saat itu mereka mulai berpacaran.

“Al, jadi ke travel nggak? Katanya mau pesen cottage untuk nginep di Pulau Seribu.” Fika, Bella, Tasha dan beberapa teman lainnya menyambangi Almi di parkiran. Mereka memasang tampang penasaran tapi sok innocent ketika melihat Rilo yang berdiri di sebelah Almi. Berharap dikenalin dan berharap cowok imut mirip Dennis O’neil ini masih single.

Sorry guys, kayanya minggu depan gue nggak jadi bareng kalian. Gue mau diving sama Rilo. Oh ya, kenalin. Ini Darilo Aston, pacar gue.” Teman-teman Almi yang lainnya hanya bisa tersenyum miris dan menelan ludah.

***

Di Boston Dizar mendapat kabar kalau pasangan ini tengah liburan ke Pulau Tidung. Almira juga menjadi tour guide yang baik bagi Rilo yang sudah lama sekali tidak menginjakkan kaki ke negara asal Ibunya. Padahal dulu sobatnya ini pernah berkata kalau dia tidak akan pernah mencari pacar orang Indonesia. Sekarang liat kan? Hatinya mentok sama Almira.

Memang mereka berdua tampak serasi. Almi yang sifatnya masih manja dan rada kekanak-kanakan dapat mengimbangi Rilo yang sangat perhatian dan dewasa. Dizar mendoakan semoga mereka langgeng selalu. Dizar juga mendengar kabar bahwa kakaknya Almi, Bang Altan yang katanya jutek parah juga sudah memberi lampu hijau kepada mereka untuk jadian dikarenakan Bang Altan dan Rilo sama-sama penggemar Boston Celtics.

Satu kalimat dari e-mail Rilo yang ia ingat terus-terusan dan hampir selalu tertawa ketika membacanya berulang kali, “Zar lo nyari cewek di sini aja. Sumpah, bening-bening banget. I love IGO deh pokoknya.” Dan mungkin benar apa yang dibilang Rilo, tampaknya ia harus memacari gadis Indonesia sesuai permintaan Ibunya.

****

I Left My Heart in Boston Part 10

Almi berlari mengejar Dizar menuju Taman Titus Sparrow yang terletak satu blok dari Prudential Centre dan lumayan sepi karena terhalangi oleh pepohonan dan rumah-rumah penduduk. Ia tidak mengerti kenapa Dizar mengajaknya kesini. Banyak sekali pertanyaan berkecamuk di hatinya. Antara senang dan was-was.

Di taman, Dizar dengan santainya mendribble bola basket dan melakukan three point dengan satu tangan. Tampaknya Dizar sangat suka bermain basket.

“Dizar… Kamu… ngapain ngajak aku kesini? Cape tau jalannya…” Tutur Almi dalam napasnya yang setengah-setengah.

“Gue mau ngomong sama lo, Al.” Ujarnya sambil tetap mendribble basket.

“Kenapa? Kamu berubah pikiran?” Tanya Almi penasaran. Semoga jawabannya iya. Dizar menggeleng mantap. Ia menghempaskan bola basket ke tanah.

“Gue mau ngomongin Rilo. Belakangan ini dia jadi sering ngelamun dan gak bersemangat kuliah. Gue kasian sama dia.” Dizar cerita terus terang tentang kelakuan Rilo selama di kampus.

“Rilo sayang sama lo Al. Kalo dia nggak sayang, nggak mungkin dia mau nemenin lo jalan-jalan ke akuarium sama nonton-nonton teater. Apalagi nemenin lo beli oleh-oleh sampe bawain barang belanjaan lo segala. Asal lo tau, Rilo paling nggak mau dimintain tolong bawain barang yang bukan punyanya sendiri. Dia juga paling males naik T. Gue aja kalo jalan sama dia, selalu naik mobilnya. Tapi disini dia berusaha untuk baik sama dan rendah hati sama lo Al. kalo Rilo nggak sayang lo, nggak mungkin dia bisa kalap marah-marah sama lo di depan Bondan. Dia hanya takut lo kenapa-napa. Selama gue temenan sama dia, sama sekali gue nggak pernah ngeliat dia sedesperate ini sama cewek.” Dizar menjelaskan panjang lebar dengan sungguh-sungguh. Dalam hati Almi menyesal karena menganggap Rilo dengan sebelah mata.

Lagi-lagi Almi menangis. Nampaknya ini akan menjadi salah satu kegemarannya di Boston. Refleks, Almi menghambur ke dalam pelukan Dizar.

“Hiks hiks… Aku sama sekali nggak tau kalau Rilo sampe segitunya… Hiks hiks… Aku…udah salah menilai Rilo… hiks…” Almi berbicara masih dalam tangisnya. Untuk kali ini sepertinya Dizar harus rela badannya dipinjam untuk menjadi sandaran Almi.

“Tapi aku belum bisa suka sama Rilo, seperti aku suka sama Dizar.” Almi masih sedikit terisak.

“Dizar… beneran kita nggak bisa pacaran? At least, jalan denganku selama aku tinggal disini.” Bujuk Almi dengan manjanya. Ia merutuk dirinya dalam hati, ‘Sial banget nasib gue ketemu spoiled princess lagi.’

“Zar, terima aja permintaan Almi. Elo kan temen gue. Bukannya lo pernah bilang, temen harus rela berkorban untuk temennya sendiri?” Rilo muncul dari balik pohon di belakang lapangan basket. Terkejut, Almi buru-buru melepaskan pelukannya dari Dizar.

“Ril, please lo jangan salah paham… ini nggak seperti yang lo kira. Ke apartemen gue sekarang, gue jelasin semuanya.” Dizar mendadak canggung menghadapi sahabatnya. Tapi di luar dugaannya, Rilo malah tersenyum manis¾tapi sinis, yang dipaksakan kearah mereka.

“Tenang aja Al, Zar… I’m okay. Have fun guys.” Tanpa mau mendengar penjelasan Dizar, Rilo sudah memacu Ford Fusionnya jauh-jauh. Dizar merasa menjadi totally bastard. Niatnya semula ingin menjadikan Rilo dan Almi sebagai sepasang kekasih, tetapi malah berakhir seperti ini.

***

Dua minggu kemudian.

Rilo benar-benar menjaga jaraknya dengan Dizar. Biasanya mereka selalu satu deret tempat duduk tapi kini Rilo memilih duduk paling belakang. Biasanya mereka selalu main bareng, entah itu di sekitar kampus atau di Jillian’s tapi kini Rilo memilih untuk pulang lebih dulu. Biasanya Rilo mengerjakan tugas bersama Dizar di perpustakaan kampus, tapi sekarang tugas itu sama sekali tidak disentuhnya. Bener-bener the power of broken heart.

Dizar menyerahkan amplop berwarna coklat besar kepada Rilo. “Dari Almi nih. Dia minta tolong gue kasih ke elo. Sorry ya baru ngasih sekarang, harusnya gue ngasih minggu lalu pas Almi udah balik ke Jakarta. Tapi gue nunggu lo stabil dulu. Gue tinggal ya.” Dizar pergi meninggalkan Rilo yang menerima tanpa kata-kata. Dirinya mulai sibuk membuka amplop coklat dan menebak-nebak apa isinya. Ternyata beberapa foto mereka sewaktu jalan-jalan di New England Aquarium dan makan siang di Sel de la Terre. Oh, dan ada sepucuk surat di dalamnya.

Dear Rilo,

Sebelumnya aku minta maaf banget kalo aku nggak ngabarin kamu pas balik ke Jakarta, aku tau kamu masih marah banget sama aku dan Dizar. Tapi sebenernya, kami sama sekali nggak jadian. Kamu salah paham. Aku meluk Dizar karena aku sediiiiihh dan kecewaaaaa banget ternyata bukan dia yang perhatian sama aku, tapi kamu. Aku baru aja sadar belakangan ini kamu ternyata aku juga sayang kamu. Nggak, ini bukan bentuk dari pelarian kok. Semoga Rilo mau maafin Almi yang telat sadarnya ini yah.

Rilo jangan murung terus dong… inget loh harus rajin belajarnya. Katanya mau cepet-cepet jadi direktur seperti Papa. Almi selalu doain supaya Rilo cepet lulusnya. Oh iya, Almi nggak mau tau, pokoknya Rilo harus nepatin janji Rilo waktu kita makan di Sel de la Terre. Inget kan? Almi tunggu sesegera mungkin ya. Yang namanya janji harus ditepatin loh.

Love J

Almira.

Nggak lama setelah baca surat dari Almi, Rilo buru-buru nyusul Dizar ke Uburger. Semangatnya muncul kembali setelah hilang beberapa saat. Surat dari Almi memang benar-benar mood booster.

***

I Left My Heart in Boston Part 9

Dizar tersenyum sambil menghela napas dalam kemudian menggiring Almi menuju pintu keluar kemudian berucap, “Lo seharusnya udah tau jawaban gue apa.” Almi memberontak, ia memberanikan diri untuk memegang tangan Dizar.

“Apa nggak bisa diusahain Zar? Aku bener-bener suka kamu.” Dengan cepat, Dizar melepaskan genganggaman tangan Almi. Risih.

Eh Al… Menurut lo, Rilo orangnya kaya gimana sih?” Dizar bertanya out of topic, sengaja mengalihkan pembicaraan sekaligus ingin mengetahui pendapat Almi tentang Rilo.

“Kok jadi nyerempet ngomongin Rilo? Dia juga aku anggep temen aja kok. Sama kaya Bondan dan yang lainnya. Lagipula, aku masih kesel dengan kejadian waktu itu.” Ucap Almi bete.

“Lo baru suka kan, bukan sayang sama gue. Think twice Almira. Udah ya, gue ngantuk banget nih. Ati-ati ya turun lift nya. Daaahh…” Dizar bersiap menutup pintu tapi Almi menahannya,

“Kamu… udah punya pacar? Atau lagi suka sama seseorang?” Tanya Almi mendelik penasaran.

Justru gue baru putus.’ Jawabnya dalam hati.

“Bukan urusan lo Al.” Ujarnya cepat sambil menutup pintu dan memastikan telah menguncinya.

***

Semakin hari Rilo tampak semakin kusut. Rambut ala mohawknya dibiarkan tumbuh panjang berantakan. Biasanya ia paling rajin ke Dellaria untuk merapihkan rambutnya. Begitupun di kelas, dosen sama sekali tidak diperhatikannya. Tugaspun, Dizar turut andil membantunya. Di kantin kampus, ia tidak begitu banyak makan. Dan yang paling berubah dari Rilo, ia jadi jarang main ke apartemen Dizar padahal dulu hampir setiap hari. Dizar lama-kelamaan gemas melihat tingkah sahabatnya bak ABG baru putus cinta. Ia harus bebuat sesuatu.

“Heh, wake up! Move on! Segininya banget sih sama cewek. Nggak biasanya lo.” Dizar menempelkan segelas kopi dingin kepada Rilo yang saat itu tengah menenggelamkan kepalanya di atas meja.

“Zar… Gue Kangen Almi.” Ujar Rilo lemas.

“Telpon lah. SMS. Datengin. Gitu aja repot banget.” Ide Dizar sebenarnya masuk akal. Hanya saja Rilo malu untuk melakukannya. Jangankan dateng ke apartemen Almi, SMS aja Rilo nggak punya nyali. Pria yang satu ini kegedean gengsi.

“Lo beneran sayang ya sama Almi?” Rilo ngangguk berkali-kali. Berapa kali ia katakan pada Dizar, bahwa dia sayang Almi.

“Bantuin gue ya Zar. Pleaseee” Rilo bangkit dari tempat duduknya dan gelendotan di lengan Dizar. Langsung saja mereka menjadi bahan tontonan sekelas, dikira mereka berdua homo. Dizar geli banget dengan tingkah laku Rilo, ia buru-buru ngibrit keluar kelas.

***

Dizar mengetuk pintu apartemen Almi. Kebetulan yang membuka adalah Jocelyn. Tak lama, Almi keluar dengan memakai apron dan menenteng spatula ditangannya. Betapa sumringahnya gadis ini mendapati Dizar main ke apartemen untuk pertama kalinya.

“Dizaaaarrrr!” Almi bergelayut manja di lengan Dizar. Sekuat tenaga cowok ini berusaha melepaskan diri dari rangkulan Almi.

“Aku lagi bikin Kimbap[1]. Kamu mau coba nggak? Bentar lagi jadi. Masuk yuk.” Ajaknya sambil menarik-narik tangan Dizar.

“Nggak nggak nggak. Lain kali aja. Al, ikut gue sekarang.” Almi memasang tampang curiga melihat Dizar tiba-tiba mengajaknya pergi.

“Kemana? Tapi aku masih belum selesai masak.” Ucapnya terus terang. Dilema juga, antara mau ikut Dizar tapi belum selesai masak. Mau selesein masak, tapi jarang-jarang ia diajak Dizar keluar kaya gini. Berduaan pula.

Dizar tidak mau menunggu Almi memasak, menurutnya itu buang-buang waktu.

“Yaudah gue tunggu di Titus Sparrow ya. Jangan kelamaan datengnya.” Tanpa basa-basi, Dizar pergi lebih dulu. Dalam hati Almi berpikir, kejutan apa yang disediakan oleh Dizar. Ngapain juga dia ngajak Almi jauh-jauh ke taman Titus Sparrow, padahal di bawah tempat tinggalnya juga ada taman.

***



[1] Makanan khas Korea. Bentuknya seperti sushi yang dilapisi oleh rumput laut.

I Left My Heart in Boston Part 8

Rilo merebahkan dirinya ke sofa. Merutuki atas perbuatannya terhadap Almi. Sakit hati sudah pasti, tapi tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Almi sudah terlanjur kesal padanya.

“Udah lah gak usah dipikirin lagi. Tapi, gue akuin tindakan lo barusan hebat banget. Beneran kaya di film-film. Jarang-jarang loh gue liat lo sama cewe sampe segitunya. Eh, nggak pernah malah.” Tutur Dizar yang menuangkan segelas air minum lalu diberikan kepada Rilo.

“Tapi, kalo mereka beneran deket gimana? Ahhh gue gak suka deh kalo kaya gini. Lo tau sendiri kan gue paling susah deket sama cewe.” Rilo makin frustrasi.

“Ril. Sumpah. Elo. Berlebihan. Banget. Bondan udah punya cewe kali. Dia tadi balik duluan karena ceweknya udah nungguin. Jadi gimana, lo masih mau deketin Almi atau enggak? Kalo udah nggak mau, now it’s my turn!” Canda Dizar yang malah membuat Rilo menghampiri dirinya dan mempraktekan jurus karatenya. “Masih lah. Untuk yang terakhir ini, gak ada kata nyerah.” Ucap Rilo mantap.

***

Beberapa hari setelah insiden berantemnya Rilo dan Almi, mereka tidak pernah memberi kabar satu sama lain. Baik di SMS, YM atau Skype. Dizar juga bersikap sewajarnya seperti tidak ada apa-apa di antara mereka. Ia tidak pernah menyinggung soal Almi di hadapan Rilo, begitunya sebaliknya. Disini, Dizar mencoba bersikap netral karena ia menganggap baik Rilo dan Almi sudah sama-sama dewasa.

Dizar mematikan TV dan lampu ruang tengah, bersiap untuk tidur setelah semaleman ini nggak tidur karena ngerjain tugas marketing research. Tapi niatnya tertunda lantaran ada seseorang yang memencet bel.

Sialan! Siapa sih malem-malem begini masih dateng. Nggak tau orang mau tidur apa.’ Dengan langkah berat Dizar membuka pintu. Almira rupanya.

“Hai Zar…” Ucap Almi dalam balutan piyama warna hijau muda lengkap dengan slippers gambar panda.

“Almira? Lo ngapain kesini malem-malem? Besok pagi aja bisa nggak? Sorry banget nih, bukannya gue mau ngusir, tapi gue belom tidur dari kemaren malem.” Ucapnya sambil mengucek-ngucek mata yang udah 5 watt itu.

“Nggak bisa sebentar aja ya? Sebentaaarrr aja… Nggak sampe 10 menit kok.” Pinta Almi memelas. Mau nggak mau ia menyuruh Almi masuk.

To the point aja ya Zar. Aku suka kamu.” Mendengar Almi berkata seperti itu, spontan ngantuknya hilang seketika. Almi pindah tempat duduk, kali ini ia duduk persis di sebelah Dizar. “Aku tau kok ini terlalu terburu-buru. Tapi beneran deh, sejak dari awal aku ketemu kamu di Whole Foods Market, kamu beda dari Rilo. Dari semua cowok yang aku kenal, kamu yang paling cuek sama aku, yang selalu bikin aku penasaran. Please, be mine?” Almi bener-bener gadis yang sangat talkative dan sangat pemberani dalam mengungkapkam perasaannya. Sayangnya, ia sama sekali tidak tertarik dengan gebetannya Rilo ini. Tetapi kalau dilihat-lihat, Almi memang menarik secara fisik. Tidak terlalu tinggi, hanya setinggi pundak Dizar. Kulitnya putih seperti sering luluran, rambutnya hitam gelombang sepunggung, matanya rada sipit dan ada lesung pipit, berbehel pula. Tipikal anak gaul Jakarta yang memakai behel hanya untuk gaya.