Wednesday, August 03, 2011

I Left My Heart in Boston Part 5

“Al, abis ini mau kemana?” Rilo menebak-nebak jawaban yang akan di berikan Almi. Ke musem, freedom trail, atau ke public garden? Kemana saja Rilo pasti menuruti kemauan Almi. Asalkan seharian ini bisa bersama si gadis berlesung pipit.

“Hmm.. aku mau beli oleh-oleh buat temen-temen sama sodara-sodara di Jakarta. Disini tempat yang murah beli oleh-oleh di mana Ril? Waktu itu aku udah nyoba ke Faneuil Hall tapi mahal-mahal.” Almi nampak kecewa. Padahal menurutnya Faneuil Hall dan Quincy Market adalah tempat yang paling cocok untuk membeli oleh-oleh.

Rilo memutar otak mencari tempat menjual oleh-oleh. Seingatnya dulu Om Imsal pernah mengajaknya kesana membeli oleh-oleh untuk sepupu-sepupunya di Jakarta.

“Ahh! Boston Stone Gift Shop. Mau kesana sekarang?” tanpa ragu-ragu Almi mengiyakan ajakan Rilo dan langsung cabut naik T ke Newburry Street. Ia nggak sadar telah menarik tangan Rilo sepanjang perjalanan menuju halte T saking kegirangannya. Sementara Rilo sendiri mempersilahkan tangannya dipegang Almi, keenakan.

***

Rilo mengantar Almi sampai depan apartemennya tepat di sore hari dengan membawakan sekantong besar barang belanjaan Almi yang di belinya di toko oleh-oleh. Kebanyakan yang di beli adalah gantungan kunci dengan landmark kota Boston, cangkir, beberapa lilin aromaterapi, dan Boston Celtic Jersey yang dibelinya di toko dekat kampus Rilo.

“Al, ini untuk siapa?” tunjuk Rilo pada jersey bernomor punggung 5 yang merupakan nomor punggung dari power forward, The Big Ticket alias Kevin Garnett.

“Oh… itu untuk abangku. Bang Altan. Dia suka banget sama Boston Celtics sampe-sampe dia bilang katanya aku nggak boleh pulang sebelum beliin dia baju ini.” Almira tertawa lucu. “Yaudah kalo gitu, gue pamit ya. Makasih Al, udah mau jalan-jalan sama gue. Maaf ya kalo agak ngebosenin.” Ucap Rilo sungguh-sungguh. Mereka berdua sama-sama kikuk.

“Mmm… harusnya aku yang bilang makasih Ril. Makasih ya udah nemenin aku seharian ini. Makasih juga untuk traktiran makan dan tiket akuarium. Ah iya, Aku juga minta maaf kalau tadi pagi udah kasar sama kamu.” Almira benar-benar meminta maaf sambil tertunduk.

“Hei.. nggak apa-apa kok. Yaudah, gue balik dulu ya. Bye Al.” Ujarnya sebelum berjalan menuju lift dengan wajah sumringah. Almira menghentikan langkah Rilo dan meneriaki namanya, “Rilo, salam untuk Dizar ya! Kapan-kapan kita jalan lagi bertiga.” Kini Rilo berjalan dengan langkah gontai.

***

Mumpung masih di Avalon, Rilo berniat main ke apartemen Dizar yang berada di lantai 15. Rilo sendiri masih nggak habis pikir kenapa Dizar memilih untuk tinggal disini, apartemen mewah lengkap dengan segala fasilitasnya. Sedangkan di kampus sudah di sediakan Warren Tower yang merupakan asrama tempat tinggal mahasiswa internasional.

“Kalo bokap nyokab sama abang gue kesini jadi gak perlu nginep di hotel.” Begitu yang Dizar katakan pada Rilo. Dan katanya, Manager Avalon ini merupakan rekan bisnis Ayahnya. Sebegitu ‘hebat’ kah ayah Dizar? Rilo bertanya-tanya.

Rilo menelpon Dizar memberitahukan kedatangannya,

“Zar, gue di depan apartemen lo nih. Bukain pintunya dong. Dari tadi gue pencet bel nggak dibukain. Lo masih mules nggak? Mau gue temenin ke dokter?” sejurus kemudian raut wajah Rilo berubah total. Kesal tapi pengen ketawa.

“Hah? Apa? Lo disitu? Ngapain? Brat! Gue nyusul sekarang kesana.” Rilo buru-buru menutup telponnya dan bergegas nyamperin Dizar.

145 Ipswich Street. Tempat Dizar berada sekarang dan sedang asyiknya bermain bowling bersama Marlon, James serta Bruce. Sama sekali tidak terlihat tanda-tanda sakit di tubuhnya.

“Gila!!! Lo jahat banget Zar. Bisa-bisanya lo ninggalin gue sama Almi berduaan doang. Pake pura-pura sakit perut segala. Kunyuk!” Seloroh Rilo berapi-api sambil menonjok pelan pundak sahabatnya ini. Di satu sisi ia merasa senang karena dengan Dizar berakting seperti itu, ia mempunya kesempatan jalan berdua dengan Almi. Tapi di satu sisi ia merasa nggak enak pada Dizar, karena seharusnya mereka pergi bertiga atas permintaan Almi.

“Hahaha… aduh sakit tau! Sorry man. Gue sengaja emang nggak mau pergi sama lo berdua, takut ganggu abisnya. Tapi gimana? Asik dong tadi?” Tanya Dizar masih dalam gelak tawanya. Temen-temen bule yang lainnya hanya bisa mengerutkan dahi, tidak mengerti pembicaraan mereka kemudian melanjutkan main bowling. “Nanti gue certain, cabut yuk. Temenin gue makan Pho.”

***

No comments:

Post a Comment

thank you for your comment :)