Wednesday, August 03, 2011

I Left My Heart in Boston Part 7

Hari ini Almi menemani Jocelyn (anak perempuan dari Mr. Flechter) ke Boston Public Library untuk mencari tugas kuliahnya. Jocelyn yang setahun lebih tua di atasnya ini kuliah di tempat yang sama dengan Almi, bedanya, Jocelyn mengambil jurusan arsitektur. Perpustakaan yang dibuka pertama kali di Amerika dan mempunyai sekitar 8.9 juta buku ini memperbolehkan pengunjungnya untuk meminjam buku dan membawanya pulang ke rumah, tentu saja setelah mempunyai kartu anggota. Di dalam perpustakaan tidak terlalu ramai seperti di luar yang kebanyakan adalah pengunjung lokal yang hendak foto-foto atau sekedar duduk-duduk.

Almi memilih duduk di luar gedung, di teras dengan pemandangan air mancur di tengah-tengah. Ia mengambil buku The Big-Ass Book of Home Décor karangan Mark Montano dan Auxy Espinoza. Dalam hati ia berteriak kegirangan karena disini banyak buku-buku interior design. Satu hari rasanya tak cukup untuk membaca semuanya. Kegemarannya adalah mendesain furniture rumah seperti kursi, sofa, tempat tidur dan lemari. Impiannya suatu hari adalah mempunyai rumah sendiri dan ia bisa mendesain seluruh furniture di dalamnya.

Excuse me, can I sit here?” Tanya seorang laki-laki di sampingnya. Almira sedang serius mendesain tak sadar menjawab, “Duduk aja.” Spontan, laki-laki itu membungkukkan badanya. Penasaran dengan gadis yang menjawab pertanyaannya barusan.

“Orang Indonesia ya?” Refleks Almira menengadahkan kepalanya. Dilihatnya pemuda itu dengan seksama.

“Hai, gue Bondan. Lo kuliah disini juga?” Sapa pemuda itu ramah. Kelihatannya mereka sebaya. “Aku Almira. Oh… Nggak, cuma homestay kok. Kamu?” Almi bertanya balik.

“Iya gue di MassArt[1]. Arsitektur. Dari tadi gue liat, lo lagi gambar kursi sama tempat tidur. Anak desain juga?” Juga? Berarti cowok di depannya ini sama seperti dirinya.

“Wow kita sama berarti…” Dapat dipastikan mereka larut dalam obrolan seputar desain.

***

Sepulang dari BPL, mereka berniat untuk makan malam di Boston Chowda. Kata Bondan, Salad Prosciutto dan Tuna Tortillanya nendang banget dan harganya tidak terlalu mahal. Almira sendiri baru tau kalau ada gerai makanan ini di kawasan tempat tinggalnya. Sepertinya ia kurang menjelajah. Sepanjang perjalanan mereka tak henti-hentinya bercerita tentang desain. Terlebih lagi Almira yang tampak menggebu-gebu menceritakan perihal impiannya.

“Almi?” Rilo memperhatikan Almi sedang berjalan bersama orang yang tak dikenalnya. Almi menghampiri Dizar dan Rilo yang kebetulan baru keluar dari toko buku Barnes & Noble.

“Rilo… Dizar… kebetulan banget kalian ada disini. Oh iya kenalin ini temenku, Bondan. Baru aja ketemu tadi di BPL. Bondan, ini temenku juga, mereka kuliah di Boston Uni.” Almi sibuk mengenalkan masing-masing orang yang ada di hadapannya.

“Kalian pada mau kemana? Kami mau makan di Boston Chowda. Ikutan yuk!” Ajak Almi tanpa ragu-ragu. Karena tak enak menolak ajakannya, Rilo dan Dizar mau gak mau jadi ikutan. Selama disana, agak kaku sih. Karena Almi sibuk ngobrol sama Dizar dan Bondan sementara Rilo hanya mengaduk-aduk saladnya dengan malas.

“Al, ikut gue bentar deh.” Ditariknya tangan Almi menuju tempat yang agak jauh dari tempat mereka duduk.

“Aduh! Sakit tau Ril. Kamu kenapa sih kok tiba-tiba kaya gini?” Almi protes karena tangannya ditarik dan di genggam agak keras.

“Kok lo bisa-bisanya jalan sama orang yang baru lo kenal hari ini? Kalo dia jahat sama lo gimana? Boston tuh luas Al! Banyak juga orang Indonesia yang punya maksud jahat. Lo harus hati-hati. Apalagi lo cewek, sendirian pula ke BPL.” Rilo memberikan penjelasan panjang lebar kepada Almi. Tapi gadis ini malah mentah-mentah menolaknya.

“Kamu kok bisa mikir segitunya sih? Bondan orang baik kok. Kita sama-sama anak desain jadi langsung akrab. Lagian dia nggak mungkin jahat sama aku. Harusnya aku yang tanya, emang kenapa kalo aku jalan sama dia? Kamu keberatan? Jangan kira karena kamu kenal aku lebih lama dari Bondan kamu jadi ngelarang aku kaya gini. WHO DO YOU THINK YOU ARE?!” Suara Almi semakin lama semakin meninggi, diikuti dengan isakan tangis. Sontak Rilo merasa serba salah. Sungguh ia tidak bermaksud seperti ini.

“Hey Al... ssshhtt… please jangan nangis disini. Al… gue minta maaf. Okay, jangan nangis ya.” Bujuk Rilo penuh hati-hati dengan mengusap kepala Almi. Tapi gadis ini malah menepisnya kasar, “Kamu nggak usah sok baik deh sama aku. Curiga, kamu sendiri yang sebenernya ada niat jahat sama aku!” Almi bersiap kembali ke tempat duduk untuk mengambil tas dan pulang ke apartemen, tapi Rilo menahan tangannya dan berkata, “Sorry Al. Gue khawatir kalo lo kenapa-napa.” Walau tidak melihat wajah Rilo, tapi Almi dapat merasakan kalau Rilo sangat bersungguh-sungguh mengucapkannya.

Dizar dan Bondan melihat kejadian itu dari jauh. Bondan berniat ingin menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi kepada Rilo, tapi Dizar menahannya.

“Nggak usah disamperin. Nanti lo malah di tonjok Rilo. Dia demen banget sama Almi.” Ucapnya santai sambil cengengesan. Bondan ikutan ketawa, menurutnya ini konyol.

“Yaudah kalo gitu gue balik duluan deh. Cewek gue nungguin. Salam buat mereka berdua ya. Gue doain cepet jadian hahaha” Tak lama, Bondan pamit meninggalkan Dizar. Kini tugas Dizar sekarang adalah : mengguyur Rilo pake air dingin, biar tuh anak bisa berpikiran lebih jernih.


[1] MassArt singkatan dari Massachusetts College of Art and Design.

***

No comments:

Post a Comment

thank you for your comment :)