Friday, August 05, 2011

I Left My Heart in Boston Part 8

Rilo merebahkan dirinya ke sofa. Merutuki atas perbuatannya terhadap Almi. Sakit hati sudah pasti, tapi tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Almi sudah terlanjur kesal padanya.

“Udah lah gak usah dipikirin lagi. Tapi, gue akuin tindakan lo barusan hebat banget. Beneran kaya di film-film. Jarang-jarang loh gue liat lo sama cewe sampe segitunya. Eh, nggak pernah malah.” Tutur Dizar yang menuangkan segelas air minum lalu diberikan kepada Rilo.

“Tapi, kalo mereka beneran deket gimana? Ahhh gue gak suka deh kalo kaya gini. Lo tau sendiri kan gue paling susah deket sama cewe.” Rilo makin frustrasi.

“Ril. Sumpah. Elo. Berlebihan. Banget. Bondan udah punya cewe kali. Dia tadi balik duluan karena ceweknya udah nungguin. Jadi gimana, lo masih mau deketin Almi atau enggak? Kalo udah nggak mau, now it’s my turn!” Canda Dizar yang malah membuat Rilo menghampiri dirinya dan mempraktekan jurus karatenya. “Masih lah. Untuk yang terakhir ini, gak ada kata nyerah.” Ucap Rilo mantap.

***

Beberapa hari setelah insiden berantemnya Rilo dan Almi, mereka tidak pernah memberi kabar satu sama lain. Baik di SMS, YM atau Skype. Dizar juga bersikap sewajarnya seperti tidak ada apa-apa di antara mereka. Ia tidak pernah menyinggung soal Almi di hadapan Rilo, begitunya sebaliknya. Disini, Dizar mencoba bersikap netral karena ia menganggap baik Rilo dan Almi sudah sama-sama dewasa.

Dizar mematikan TV dan lampu ruang tengah, bersiap untuk tidur setelah semaleman ini nggak tidur karena ngerjain tugas marketing research. Tapi niatnya tertunda lantaran ada seseorang yang memencet bel.

Sialan! Siapa sih malem-malem begini masih dateng. Nggak tau orang mau tidur apa.’ Dengan langkah berat Dizar membuka pintu. Almira rupanya.

“Hai Zar…” Ucap Almi dalam balutan piyama warna hijau muda lengkap dengan slippers gambar panda.

“Almira? Lo ngapain kesini malem-malem? Besok pagi aja bisa nggak? Sorry banget nih, bukannya gue mau ngusir, tapi gue belom tidur dari kemaren malem.” Ucapnya sambil mengucek-ngucek mata yang udah 5 watt itu.

“Nggak bisa sebentar aja ya? Sebentaaarrr aja… Nggak sampe 10 menit kok.” Pinta Almi memelas. Mau nggak mau ia menyuruh Almi masuk.

To the point aja ya Zar. Aku suka kamu.” Mendengar Almi berkata seperti itu, spontan ngantuknya hilang seketika. Almi pindah tempat duduk, kali ini ia duduk persis di sebelah Dizar. “Aku tau kok ini terlalu terburu-buru. Tapi beneran deh, sejak dari awal aku ketemu kamu di Whole Foods Market, kamu beda dari Rilo. Dari semua cowok yang aku kenal, kamu yang paling cuek sama aku, yang selalu bikin aku penasaran. Please, be mine?” Almi bener-bener gadis yang sangat talkative dan sangat pemberani dalam mengungkapkam perasaannya. Sayangnya, ia sama sekali tidak tertarik dengan gebetannya Rilo ini. Tetapi kalau dilihat-lihat, Almi memang menarik secara fisik. Tidak terlalu tinggi, hanya setinggi pundak Dizar. Kulitnya putih seperti sering luluran, rambutnya hitam gelombang sepunggung, matanya rada sipit dan ada lesung pipit, berbehel pula. Tipikal anak gaul Jakarta yang memakai behel hanya untuk gaya.

No comments:

Post a Comment

thank you for your comment :)