Wednesday, August 03, 2011

I Left My Heart in Boston Part 2

“Gila! Tuh cewe kayanya agresif banget Ril. Baru kenal udah minta diajak jalan-jalan. Tipe lo banget kan yang agresif-agresif begitu.” Seloroh Dizar sambil menaruh belanjaan di atas meja ketika sampai di apartemennya.

“Lucu juga si Almi. Lumayan dapet IGO[1] di negeri orang hahaha” spontan mereka berdua tertawa ngakak.

“Jangan bilang lo mau ngedate sama dia?” tebak Dizar asal-asalan.

“Kenapa enggak? Since I’m single and ready to mingle. Kayanya seru bisa jalan sama Almi.” Rupanya Rilo mempunyai kebiasaan baru; berkhayal.

“Kok ‘kayaknya?’ Make it real!” Dizar nyeletuk usil, senang sekali melihat Rilo ‘kembali’ dari murungnya. “How could I? dia lebih tertarik sama lo Zar. Buktinya tadi malah minta nomor lo. Ini gak adil, harusnya dua-duanya aja sekalian. Atau jangan-jangan dia tau siapa elo sebenernya.” Dizar hanya tertawa dan melemparkan bantal ke muka Rilo yang sangat memberi penekanan dengan kalimat terakhirnya. Orang-orang di sini nggak ada yang tau siapa Dizar, kecuali temen-temen deketnya di kampus yang orang Indonesia juga.

Almi keluar dari lift dan berjalan keluar menuruni tangga apartemen. Ia Berniat untuk pergi ke college, karena hari ini para mahasiswa pertukaran akan berdiskusi tentang budaya dari negara masing-masing. Almi semangat sekali karena akan menjelaskan tentang kebudayaan Indonesia. Maka hari ini, dress batik motif tiga negeri selutut serta bolero dan sneakers melekat di badannya. Tangan kirinya memegang satu tas besar yang berisi wayang kulit, kain songket dan beberapa album bertuliskan Indonesia Heritage.

“Pagi, Al.” Ucap suara pria dari belakang. Spontan Almi nengok ke belakang. Di dapatinya Dizar yang saat itu memakai kemeja biru garis-garis, celana jeans dan menenteng tas ranselnya tengah berdiri tepat di belakangnya. Almi mendadak pucat, seperti ngeliat hantu.

“Di..zar?” ucapnya slow motion ala film-film romantic.

“Tinggal disini juga?!” Tanya Almi setengah nggak percaya. Dizar menaikan sebelah alisnya.

“Kemarin Rilo udah bilang kan kalo kita satu apartemen? Masa udah lupa sih… Sorry, gue duluan yah. Udah telat nih. See you.” Jawaban yang tepat untuk sekedar basa-basi di pagi hari. Dizar si cowok jutek pun lari-lari kecil menuju T[2] Station.

Almi sama sekali nggak nyangka kalo dia dan Dizar ternyata satu apartemen yang hanya beda beberapa lantai. Jantungnya berdegup gak karuan, bagai ngeliat titisan dewa Zeus dipagi hari. Ganteng, cerdas, wajahnya hampir mirip kaya Jay Hernandez yang main film Hostel, bedanya Dizar agak botak. Tapi hanya satu kekurangan dari Dizar, juteknya itu loh gak nahan. Apapun dan gimanapun caranya, Dia harus bisa deketin Dizar. Mungkin sudah kodrat wanita jika ia merasa tertarik untuk mendekati pria misterius. Dizar beda sama Rilo. Walaupun Rilo lebih ‘welcome’ daripada Dizar yang jutek, tapi di mata Almi, tetap Dizar yang paling menarik perhatian.

“Tadi gue ketemu Almi di depan apartemen.” Ucap Dizar yang kebiasaan tanpa ‘permisi’ dulu kalo lagi ngomong. Main nyamber aja. Rilo yang lagi baca-baca buku sontak kaget dengan kedatangan Dizar yang tiba-tiba.

Whoa! Pasti cantik ya. Baru kali ini gue demen sama cewek lokal. Udah bosen lah sama bule.” Rilo mengambil tempat disebelah Dizar. Mereka mulai membaca catatannya.

“Lo suka beneran sama dia?” Tanya Dizar asal nebak.

“Ya kalo dapet cewe cantik, pinter, imut kaya gitu… siapa sih yang nolak? Gue heran deh, lo sama sekali nggak tertarik sama dia Zar?” Rilo penasaran. Dizar menggeleng sekali.

“Selama kuliah, gue sama sekali gak pernah liat lo lagi ngedeketin cewe atau jalan bareng cewe. Zar, lo bukan Hom….” Plak! Dengan suksesnya pulpen Dizar menyambit Rilo.

“Ngaco lo! Enggak lah. Gue punya gebetan, kalo udah pasti, nanti gue kasih tau.” Dizar berucap yakin. Padahal sebenernya dia ngasal.

Setelah selesai makan siang, Dizar dan Rilo nggak ada kelas lagi. Niat awalnya mereka mau main bowling di Jillian’s, tapi Dizar nggak jadi ikutan dengan alasan mau bikin tugas.

“Gue ikut ke apartemen lo ya Zar?” Tanya Rilo dengan wajah sumringahnya.

No! gue mau tidur.” Dizar menolak mentah-mentah. Ia tau alesan Rilo main adalah, apalagi kalo bukan liat Almi.

“Pliiss banget broooo! Bentar doang, kalo gue udah berhasil ketemu Almi trus ngajak jalan bareng, gue balik deh. Yah yah?” ucapnya dengan nada memohon. Maksa sih lebih tepatnya. Dizar mau nggak mau menerima permintaan sahabatnya ini.

“Naik taksi aja deh. Gue yang bayar. Gue lagi males naik T.” Rilo, sahabatnya yang satu ini gak pernah berubah. Mentang-mentang anak paling kecil, semua kemauannya diturutin sama orang tuanya. Termasuk dalam hal uang jajan dan gaya hidup serba wah.



[1] IGO merupakan singkatan dari Indonesian Girls Only. Istilah yang dipakai di komunitas dunia maya, Kaskus.

[2] T adalah singkatan dari Massachusetts Bay Transportation Authority (MBTA). Merupakan system transit ke empat terbesar di Amerika. Pada tahun 2007 sistem transportasi ini telah diubah menjadi system elektronik yang menggunakan mesin pembeli tiket otomatis.

***

No comments:

Post a Comment

thank you for your comment :)